Selasa, 02 Februari 2016

sejarah berdirinya perbankan syariah di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Perkembangan Perbankan syariah yang telah dapat momentum sejak tahun 1970–an, secara umum mengambil 2 pola. Pertama, mendirikan bank syariah berdampingan dengan bank konvensional (dual banking System) seperti yang dilakukan di Mesir, Malaysia, Arab Saudi, Yordania, Kuwait, Bahrain, dan Banglades. Kedua, merestrukturisasi sistem perbankan secara keseluruhan sesuai dengan syariah Islam (full fledged Islamic financial system) seperti yang terjadi di Sudan, Iran dan Pakistan.[1][1]
Di Iran, bank syariah telah beroperasi setelah UU Perbankan bebas bunga disahkan pada Agustus 1983 dan berlaku pada bulan Maret 1983, maka berkembang pesat bank syariah di Iran sampai sekarang. Begitu juga dengan Sudan, pada tahun 1978 telah mulai beroperasi bank syariah dengan nama Faisal Islamic Banking of Sudan dengan dekrit khusus dan seluruh bank di Sudan di Islamisasi. Kemudian Bank Islam Malaysia Berhad beroperasi pada Juli 1983 setelah disahkannya UU Perbankan Islam Nomor 276 pada Maret 1983. Berdasarkan UU sementara Khusus Nomor 13 yang diperkuat oleh UU Permanen Nomor 62 pada 1985 maka beroperasilah bank berbasis syariah di Jordan dengan nama Jordan Islamic Bank for Finance and Investment.[2][2]
Perkembangan bank yang berbasis syariah telah berdiri diseluruh penjuru dunia sejak tahun 1970 –an. Hal ini menjadi motivasi para ulama-ulama di Indonesia untuk membentuk UU tentang perbankan syariah agar bisa mendirikan perbankan syariah. Dari dasar ini maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana sejarah pendirian perbankan syariah di Indonesia sehingga penulis menuliskan makalah ini dengan judul “ Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia”.
2.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana sejarah berdirinya perbankan syariah di Indonesia.
3.      Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perbankan Syariah dan manfaat penulisan ini adalah penulis bisa mengetahui sejarah berdirinya perbankan syariah di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Defenisi Perbankan Syariah
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah BAB I Ketentuan Umum pada Pasal 1 menjelaskan bahwa Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan Bank Syariah adalah Bank yang menjalakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[3][3]
Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum konvensional yang berfungsi sebgai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan diluar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. Kantor Cabang adalah kantor cabang bank Syariah yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut melakukan usahanya.[4][4]
Sedangkan menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan H. M. Syafi’I Antonio, bank Islam atau bank Syariah adalah Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan al-Qura’an dan Hadits.[5][5]
Berdasarkan defenisi-defenisi istilah yang terdapat dalam Perbankan Syariah mulai dari Pengertian Perbankan Syariah, Bank Umum Syariah, BPRS, dan sebagainya menjelaskan bahwa kegiatan usahanya tidak terlepas dari syariah atau ketentuan al-Qur’an dan Hadits.
2.      Landasan Hukum Perbankan Syariah
a.      Al – Qur’an
Kegiatan perbankan yang dilakukan di bank konvensional tidak sesuai dengan syariah Islam dikarenakan adanya praktek riba dan praktek terlarang lainnya. Sehingga para Ulama termotivasi untuk mendirikan Perbankan Syariah di Indonesia berdasarkan firman Allah SWT pada Q. S. al-Baqarah ayat 275, sebagai berikut :
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila, Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
            Berdasarkan ayat ini para ulama Indonesia mendirikan bank bebas bunga tersebut karena Allah telah menjelaskan bahwa riba itu haram dan jual beli itu adalah halal. Selain itu, Allah juga menjelaskan bahwa memakan harta sesame dengan jalan yang bathil itu juga dilarang. Allah SWT berfirman dalam Q. S. an _ Nissa’ Ayat 29, sebagai berikut :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
            Ayat ini menjelaskan bahwa tidak dibolehkannya memakan harta sesama kita dengan jalan yang dilarang oleh Allah SWT, seperti riba, maisir, tadlis, gharar dan sebagainya karena perbuatan itu merugikan salah satu pihak. Dan masih banyak lagi ayat – ayat al-Qur’an yang menjadi landasan berdirinya Perbankan Syariah.
b.      Hadits
            Pelarangan riba tidak hanya merujuk pada al-Qur’an, selain itu, al-Hadits juga menjelaskan bahwa riba itu dilarang. Hadits berfungsi menjelaskan lebih lanjut tentang ayat-ayat al-Qur’an sehingga lebih spesifik. Seperti sabda Rasulullah saw, sebagai berikut :
            “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang karena riba harus dihapuskan. Modal ( uang pokok ) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita atau mengalami ketidakadilan.”
Hadits ini merupakan amanat terakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah bahwa Rasulullah saw. Masih menekankan bahwa Islam melarang praktek riba tersebut.[6][6]
c.       Fatwa MUI/DSN Tentang Perbankan Syariah
Dewan Syariah Nasional selanjutnya disebut DSN dibentuk pada tahun 1997 yang merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli 1997. DSN merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Berpedoman kepada PT Muamalat Indonesia yang menjadikan akad mudharabah dan musyarakah sebagai akad produknya maka Fatwa DSN menerbitkan Fatwa DSN No. 7/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman pada praktek Perbankan Syariah. Dalam nomor tersebut sebutkan: “Lembaga keuangan Syariah sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disnegaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.”[7][7]
d.      Peraturan Bank Indonesia
PBI yang secara khusus merupakan peraturan pelaksana dari UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan telah diundangkan hingga saat ini yaitu:[8][8]
a.       PBI No. 10/16/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
b.      PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang produk bank syariah dan Unit Usaha Syariah
c.       PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang rekonstruksi pembiayaan bagi bank syariah.
d.      PBI No. 10/23/PBI/2008 tentang perubahan kedua atas PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melaksanaan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
e.       PBI No. 10/24/PBI/2008 tentang perubahan kedua atas PBI No. 8/21/PBI/2008 tentang penilaian kualitas aktiva bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdsarkan prinsip syariah.
f.       PBI No. 10/32/PBI/2008 tentang komite perbankan syariah.
g.      PBI No. 11/3/PBI/2009 Tentang Bank Umum Syariah pada Ketentuan Umum pasal 1 menjelaskan :
1.      Bank adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ;
2.      Kantor Cabang yang selanjutnya disebut KC adalah kantor bank yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KC tersebut melakukan usahanya.
3.      Dan seterusnya.
3.      Asas, Tujuan, dan Fungsi Bank Syariah
Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdsarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah.
Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Fungsi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menjalankan fungsi sebagai intermediasi yaitu menghimpun dan menyalurkan dana masyarkat, serta dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga Baitul Mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak dan sedekah, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Kemudian Bank Syariah dan UUS ini juga berfungsi menghimpun dana social yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (Nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakah (wakif).[9][9]
4.      Gagasan Pendirian Bank Syariah di Indonesia
Di Indonesia umat Islam sudah lama mendambakan berdirinya Bank Islam yaitu sejak tahun 1937. K.H. Mas Mansur sebagai ketua pengurus besar Muhammadiyyah periode 1937- 1944 mengeluarkan pendapatnya mengenai penggunaan jasa bank konvensional yang terpaksa dilakukan karena umat Islam belum mempunyai lembaga keuangan sendiri yang bebas riba.
Gagasan pendirian Bank Syariah di Indonesia gencar kembali pada tahun 1970-an. Dimana pembicaraan Bank Syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia – Timur Tengah pada tahun 1974 dan 1976 dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu – Ilmu Kemasyarakatan dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam di Indonesia memiliki Perbankan Islam mulai sejak itu, seiring munculnya kesadaran kaum Intelektual dan cendikiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat.  Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan mengenai hukum bunga bank dan hukum zakat dengan pajak dikalangan para ulama, cendikiawan, dan intelektual muslim.[10][10]
Namun, gagasan yang diperjuangan oleh kaum intelektual dan cedikiawan muslim ini tidak berjalan dengan lancar sesuai yang telah direncanakan mereka karena adanya faktor penghambat dari pendirian Bank Islam tersebut. Adapun faktor penghambat pendirian bank Islam tersebut adalah :
1.      Operasi bank syariah yang menerapkan bagi hasil belum diatur karena itu tidak sejalan dengan undang – undang pokok perbankan yang berlaku, yakni Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1967.
2.      Konsep bank syariah dari segi politik berkonotasi ideologis, merupakan bagian dari atau berkatian dengan konsep Negara Islam, oleh karena itu tidak dikehandinya pendirian bank Islam oleh pemerintah.
3.      masih dipertanyakannya siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam ini, semantara pendirian bank baru dari timur tengah masih dicegah, antara pembatasan pendirian bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia.[11][11]
Di awal tahun 1980-an kembali digelar lagi diskusi yang begitu gencarnya yang bertemakan mengenai Bank Syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan kembali. Dimana tokoh yang terlibat dalam pegelaran diskusi ini adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A. M. Saefuddin, dan M. Amien Azis. Sebagai uji coba gagasan perbankan Islam dipraktikkan dalam skala relatif terbatas, diantaranya di Bandung pada lembaga Bait At-Tamwil Slaman ITB dan di Jakarta pada Koperasi Ridho Gusti. Sehingga M. Darwam menulis dalam sebuah buku bahwa bank Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan bunga (riba), serta menjawab tantangan bagi kebutuhan  pembiayaan guna pemgembangan usaha ekonomi masyarakat yaitu dengan menerapkan sistem mudharabah, musyarakah dan murabahah.[12][12]
Namun, diskusi itu juga belum memberikan kabar gembira bagi umat muslim atas tekad pendirian bank Islam di Indonesia. Kemudian gagasan ini muncul kembali pada tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Okteber (Pakto) yang berisi leberalisme Industri Perbankan. Pada saat itulah para ulama Indonesia berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum untuk dijadikan dasar pendiriannya, kecuali bahwa bank dapat menetapkan bunga sebesar 0%. Sehingga gagasan masih gagal dilakukan oleh para ulama di Indonesia.
Pada tahun 1990, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan secara mendalam. Majelis Ulama Indonesia ( MUI) melaksanakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa barat  pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Lokakarya ini menghasilkan terbentuknya kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia berdasarkan Munas IV MUI. Dan kelompok kerja ini dikenal dengan Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.[13][13] Dan hasil kerja Tim Perbankan MUI berhasil mendirikan PT Bank Muamala Indonesia (BMI).
5.      PT Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) berkat kerja keras para ulama serta kaum Intelektual di Indonesia yang terbentuk dalam suatu Tim yang dikenal dengan Tim Perbankan MUI. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia disahkan dan ditandatangi pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebesar Rp 84 Miliar.[14][14]
PT Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi pada tahun 1992, dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000. Sampai dengan bulan September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makasar.[15][15]
Dana awal BMI ini berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh Menteri Kabinet Pembangunan V, juga Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bakti Pertiwi, PT PAL dan PT Pindad. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang Bank Muamalat Indonesia. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut maka Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi secara resmi. [16][16]
Setelah Bank Muamalat mulai beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah pertama di Indonesia. Sehingga menimbulkan motivasi umat Islam di Indonesia untuk menerapkan dan mempraktekkan sistem syariah dalam kehidupan ekonomi sehari-hari. Namun, karena bank syariah pertama ini masih sedikit di bandingkan dengan bank konvensional yang telah menyebar disegala penjuru tanah air sehingga Bank Muamalat hamper tidak bisa berbuat apa-apa.
Secara yuridis, walaupun pembiacaraan tentang bank syariah sudah lama ada di Indonesia, akan tetapi momentum akan lahirnya bank-bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah tersebut baru ada setelah lahirnya Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998. Memang Undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi Undang-udang No. 10 tahun 1998 seakan-akan memecahkan terhadap lahirnya bank yang berdasarkan prinsip syariah tersebut.
Setelah lahirnya UU No. 7 Tahun 1992 dan diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 maka bermuncullah bank-bank yang berdasarkan syariah dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Dinataranya Bank Syariah mandiri, Bank Mega Syariah, dan lainya sebagainya.


BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Ide pendirian Bank Syariah sudah dimulai sejak tahun 1937 oleh ketua pengurus Besar Muhammadiyyah yaitu K. H. Mas Mansur sampai pada akhirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sehingga berdirinyan Bank Muamalat dan Undang- Undang ini diubah menjadi Undang-Undang No. 10 tahun 1998. Atas dasar undang-undang ini bermuncullah bank syariah di Indonesia.
Landasan pendirian Perbankan syariah terdapat dalam al-Qur’an dan hadist serta di dukung oleh Fatwa DSN/MUI dan Peraturan Bank Indonesia sehingga Perbankan Syariah mulai berkembang di Indonesia.
2.      Saran
Penulis sangat mengharapkan saran atas makalah ini, mengingat kurang sempurnanya penulisan makalah ini. Penulis mengharapkan saran yang sangat membangun dalam perbaikan makalah ini.









DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Safi’I. 2001. Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek. Jakarta : Gema Insani Pres.
Perwaatmadja, Karnaen A. dan M. Syafi’I Antonio. 1997. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta : PT Dana Bhakta Wakaf.
Raharja, Dawan. 1999. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi. Jakarta : Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah. Jakarta : Ghalia Indonesia.
TIM redaksi Sinar Grafika. 2008. Undang-Undang Perbankan Syariah 2008. Jakarta : Sinar Grafika.
Wibisono, Yusuf.  2009. Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah. Skripsi. Depok : Universitas Indonesia.



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar